Bulan Suro merupakan berbagai intisari dari embrio keluhuran
masyarakat Jawa. Karena juga awal bulan dalam pergantian Tahun dan semua
rumusan dalam setahun ke depan ditentukan di Malam Suro. Ritual-ritual
diselenggarakan bergerak vertikal ke atas dengan persemedian-persemedian penuh
konsentrasi meleburkan diri dalam jiwa diri mencapai Sang Gusti untuk dapat di
bumikan. Sehingga Malam Suro juga kembali pada ibu pertiwi, ibu bumi.
Bulan Suro
Bulan Suro atau Hari raya orang Jawa khususnya adalah sebuah ritual
spiritual kepada Gusti Yang Maha Esa dan mengharap kesakten atau
kesaktian. Antara lain, membasuh segala yang kita miliki sebagai pusaka. Contoh
saja Keris salah satunya, artinya mencuci bukan hanya secara lahir yang
primordialnya seperti mencuci piring. Akan tetapi lebih pada nilai kerohanian.
Kebesaran yang ada di jiwa diasah dan diarak keliling untuk bisa dibagikan dan
digenggam oleh sanak, bahkan orang lain mengambil sesuguhan arti kontemporer
yang lebih bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Namun, bisa kita lihat apa saja syarat sesungguhnya untuk
mengawali ritual mencapai kesakten. Pertama, Sabar. Ki Barata ( Pembina Padepokan
Wilujeng Malang ) mengatakan bahwa sepanjang usia manusia selalu bertemu
ambivalensi antara kedua pilihan yang membingungkan dan menggugah hati. Nafsu
yang mengontrol pergerakan akan keinginan harus di balance-kan
dengan memaksimalkan fungsi hati dan pikiran. Sabar adalah
kuncinya.
Segala keinginan-keinginan yang ada di puasakan dengan sabar untuk
tidak meraja-lela dan menguasai diri-pribadi. Karena kebutuhan yang sudah
diberikan Gusti kepada manusia sudah mencakup segala hal yang
memang kita perlukan. Sedangkan keinginan hanya egoisme diri yang jika kita
memiliki hanya sedikit menambah kebahagiaan. Karena bagaimana-pun yang
dimilikinya lambat laun akan tertindih rasa penyesalan atas hilangnya yang
dimiliki atau bahkan mungkin tertumpuk lahirnya keinginan baru dan menyesakkan.
Kedua, Ki Barata melanjutkan bahwa tahap
berikutnya adalah Sabar. Sabar yang kedua dimaksudkan bagaimana
manusia sabar menfokuskan pada Gusti dengan segala Sesajen dan Relo
legowo melakukannya dalam rangka mensyukuri atas segala pemberian
Tuhan Yang Maha Kasih. Sesajen Tumpengan contohnya, merupakan implementasi dari
eksistensi kita di masyarakat yang bersyukur dan memberikan kepada semua orang
yang kira-kira membutuhkan pangan. Nilai ini mungkin hanya menjadi agenda
Tahunan, namun jika kita analisa maka wacana ini mengandung ekuivalensi
Hubungan Manusia dengan Tuhan, Hubungan Manusia dengan Alam (Manusia).
Ketiga, Ikhlas. Serangkaian hirarki perbuatan
kita di dunia diukur dengan seberapa besar kita memberikan segala pada Gusti
Allah, berupa kebaikan-kebaikan dan benar-benar Ikhlas?. Ikhlas merupakan
substansi besar dalam diri manusia yang jika potensi ini diekspresikan secara real,
maka kita benar-benar Manunggaling Kaulo Gusti (menyatu dengan Tuhan
/ berprilaku seperti Tuhan). Di balik selentingan tentang ritual yang selama ini
dikaitkan dengan kesyirikan setidaknya terbantahkan. Karena hanya sesembahan
secara lahiriah saja bahwa di Holy Month seperti Suro kita
dituntut untuk mencuci keris, udeng atau blangkon yang sebenarnya merupakan
ritual dari serangkaian budaya dan adat kebiasaan sebagai pengertian tentang
apa yang berada di dalam diri.
Bulan Suro
Maka, kiranya kita melihat artikulasi tentang kesakten dan
yang disebut sakti mandraguna adalah mereka-mereka yang mampu
mengoptimalkan segenap Sabar dan Ikhlas sebagai
ritual dan mendayagunakannya di bumi. Akhirnya keseimbangan antara Hubungan Vertikal (Gusti) dan
Hubungan Horizontal (Alam/manusia) memang Kudu selaras. Dan
yang mampu dialah yang sakti atau wali dalam Islam. terima kasih telah membaca Bulan suro, suro dan kesakten.
Ali Arrida