Rabu, 26 Desember 2012

Suro dan Kesakten.

Bulan Suro merupakan berbagai intisari dari embrio keluhuran masyarakat Jawa. Karena juga awal bulan dalam pergantian Tahun dan semua rumusan dalam setahun ke depan ditentukan di Malam Suro. Ritual-ritual diselenggarakan bergerak vertikal ke atas dengan persemedian-persemedian penuh konsentrasi meleburkan diri dalam jiwa diri mencapai Sang Gusti untuk dapat di bumikan. Sehingga Malam Suro juga kembali pada ibu pertiwi, ibu bumi.

Bulan Suro

Bulan Suro atau Hari raya orang Jawa khususnya adalah sebuah ritual spiritual kepada Gusti Yang Maha Esa dan mengharap kesakten atau kesaktian. Antara lain, membasuh segala yang kita miliki sebagai pusaka. Contoh saja Keris salah satunya, artinya mencuci bukan hanya secara lahir yang primordialnya seperti mencuci piring. Akan tetapi lebih pada nilai kerohanian. Kebesaran yang ada di jiwa diasah dan diarak keliling untuk bisa dibagikan dan digenggam oleh sanak, bahkan orang lain mengambil sesuguhan arti kontemporer yang lebih bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Namun, bisa kita lihat apa saja syarat sesungguhnya untuk mengawali ritual mencapai kesakten. PertamaSabar. Ki Barata ( Pembina Padepokan Wilujeng Malang ) mengatakan bahwa sepanjang usia manusia selalu bertemu ambivalensi antara kedua pilihan yang membingungkan dan menggugah hati. Nafsu yang mengontrol pergerakan akan keinginan harus di balance-kan dengan memaksimalkan fungsi hati dan pikiran. Sabar adalah kuncinya.

Segala keinginan-keinginan yang ada di puasakan dengan sabar untuk tidak meraja-lela dan menguasai diri-pribadi. Karena kebutuhan yang sudah diberikan Gusti kepada manusia sudah mencakup segala hal yang memang kita perlukan. Sedangkan keinginan hanya egoisme diri yang jika kita memiliki hanya sedikit menambah kebahagiaan. Karena bagaimana-pun yang dimilikinya lambat laun akan tertindih rasa penyesalan atas hilangnya yang dimiliki atau bahkan mungkin tertumpuk lahirnya keinginan baru dan menyesakkan.
Kedua, Ki Barata melanjutkan bahwa tahap berikutnya adalah Sabar. Sabar yang kedua dimaksudkan bagaimana manusia sabar menfokuskan pada Gusti dengan segala Sesajen dan Relo legowo melakukannya dalam rangka mensyukuri atas segala pemberian Tuhan Yang Maha Kasih. Sesajen Tumpengan contohnya, merupakan implementasi dari eksistensi kita di masyarakat yang bersyukur dan memberikan kepada semua orang yang kira-kira membutuhkan pangan. Nilai ini mungkin hanya menjadi agenda Tahunan, namun jika kita analisa maka wacana ini mengandung ekuivalensi Hubungan Manusia dengan Tuhan, Hubungan Manusia dengan Alam (Manusia).

Ketiga, IkhlasSerangkaian hirarki perbuatan kita di dunia diukur dengan seberapa besar kita memberikan segala pada Gusti Allah, berupa kebaikan-kebaikan dan benar-benar Ikhlas?. Ikhlas merupakan substansi besar dalam diri manusia yang jika potensi ini diekspresikan secara real, maka kita benar-benar Manunggaling Kaulo Gusti (menyatu dengan Tuhan / berprilaku seperti Tuhan). Di balik selentingan tentang ritual yang selama ini dikaitkan dengan kesyirikan setidaknya terbantahkan. Karena hanya sesembahan secara lahiriah saja bahwa di Holy Month seperti Suro kita dituntut untuk mencuci keris, udeng atau blangkon yang sebenarnya merupakan ritual dari serangkaian budaya dan adat kebiasaan sebagai pengertian tentang apa yang berada di dalam diri.

Bulan Suro

Maka, kiranya kita melihat artikulasi tentang kesakten dan yang disebut sakti mandraguna adalah mereka-mereka yang mampu mengoptimalkan segenap Sabar dan Ikhlas sebagai ritual dan mendayagunakannya di bumi. Akhirnya keseimbangan antara Hubungan Vertikal (Gusti) dan Hubungan Horizontal (Alam/manusia) memang Kudu selaras. Dan yang mampu dialah yang sakti atau wali dalam Islam. terima kasih telah membaca Bulan suro, suro dan kesakten.

Ali Arrida

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar